Tiga Belas Tahun


Pagi itu, ia berada di atas pohon kopi. Pohon kopi di belakang rumah, buahnya sudah mulai meranum dan siap dipetik. Lagi-lagi, karena badannya kecil ia selalu mendapat jatah bagian mengambil paling atas. Kadang, ia menggunakan sarung, dengan melilitkannya di leher dan mengikatnya, lantas bagian lain, ia ikat di bagian pinggang. Jadilah sarung sebagai kantong ajaibnya, untuk meletakan biji-biji kopi yang telah dpetiknya. Tapi memetik kopi dengan cara seperti itu, ada kalanya membawa dampak buruk. Semut-semut yang menyelinap di balik grombolan biji-biji kopi siap melahap dan menggigitnya. Tak jarang, sebelum habis ia menyelesaikan tugasnya, ia harus buru-buru turun dari pohon.

Maka ia merubah cara dengan membawa ember ke atas pohon. Mengaitkannya di dahan terdekat, dengan kayu yang sudah dibuat sebagai pengait, ia akan mengait tangkai-tangkai kopi yang tak terjangkau oleh tangan kecilnya.

Foto ini nyuri dari google

Dan hari itu seperti biasanya, ketika musim panen kopi tiba. Dari atas pohon kopi, terkadang, ia tak hanya memetik buahnya, tapi juga melihat ke sekeliling di bawahnya. Ia dapat melihat lalu lintas jalan yang tak berapa ramai juga lalu lalang orang. Dan ketika ada sebuah mobil panther berhenti di jalan besar berdekatan dengan rumahnya, ia mengintai-intai dan bertanya dalam hati, "Mobil siapa gerangan...???"

"Nenekkkk, ada mobil berhenti di depan." Ia berteriak dan buru-buru turun ke bawah. Segera melihat siapa agaknya yang membawa mobil. Tak dihiraukannya ember yang masih bergayut di atas dahan pohon kopi. Tak juga diturunkannya pengait kayu yang dibawannya. 

Tak dinyana, orang-orang yang turun dari mobil ada yang dikenalinya. Dia adalah budenya sendiri, kakak dari ibunya. Ia tersengih, dan segera memberi salam. Ternyata, udenya baru pulang dari kota dan diantar oleh majikannya.

Akhirnya, tahulah ia bahwa kepulangan sang bude ke kampung beserta majikannya adalah untuk menjemputnya. Yah, menjemputnya untuk bekerja di kota, sebagai pembantu rumah tangga. Ia tak takut sedikitpun. Padahal, bapaknya menyuruh ia untuk melanjutkan sekolah. Tapi ia terlanjur menikmati kebebasannya setelah lulus SD. Dan ia enggan untuk kembali melanjutkan sekolahnya.

Beberapa hari setelah budenya pulang, akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengikuti budenya bekerja di kota, sebagai pembantu rumah tangga. Ia sempat berpisah dengan kawan dekatnya dan merasa bersedih. Tapi ia tetap gembira. Harapannya terwujud untuk mengunjungi sebuah tempat bernama kota. Dengan budenya, ia menuju ke kota terdekat dari kampunya, karena di sanalah majikan budenya menginap.

Sampai di sana, tengah hari dan harus menginap satu malam di kota kecil tersebut. Baru esoknya, ia, budenya dan kedua majikannya menuju ke kota besar. Itulah untuk pertama kalinya ia menaiki kendaraan pribadi. Begitu ndesitnya ia, sampai-sampai ia selalu melihat apa saja yang dilaluinya. Sebelum berangkat, teman dekatnya protes kalau kota yang dituju bukanlah kota besar Jakarta. Tapi ia tak peduli, yang penting ia akan ke kota dan dekat dengan Jakarta.

Akhirnya, ia sampai di sebuah rumah. Ia begitu takjub, rumahnya sangat besar, berlantai keramik, kursinya berjejer dan berukir terbuat dari kayu jati. Ada juga kursi dan mejak makan yang bundar. Ia juga dapat melihat kulkas juga TV berwarna, dua puluh satu inci. Ia benar-benar terkejut. Berbeda sekali dengan keadaan di kampungnya. Di rumah neneknya, lantainya tanah, tak ada kulkas, apalagi TV karena listrik pun belum ada di kampungnya. Dan ia, tak menemui tungku seperti di rumah neneknya, karena sudah ada kompor gas seperti yang pernah ia lihat di rumah seorang teman di kampung tetangga.

Masih sama, nyuri dari google juga :) di perumahan inilah, ia pertama kali menjejakan kaki di sebuah tempat bernama, kota

Dia, mengalami keterkejutan budaya...

Itulah untuk kali pertama ia menjejakan kaki di kota. Debutnya, sebagai PRT dimulai sejak usia tiga belas tahun. Ia, masih mengingat jelas alamat juga nomor telpon rumah majikan pertamanya.

*****
Saat aku pulang ke kampung halaman, aku sering diusik oleh anggota keluargaku.
"Eh, An, kamu inget nggak? Dulu, kan sewaktu budemu datang, kamu pas ada di atas pohon kopi. Terus, embernya kan nggak diturunin. Nah, Nenek tuh, kalau kangen sama kamu, pasti akan ke belakang rumah dan mendongak ke atas melihat ember yang kamu tinggalkan. Ember itu, sengaja nggak diturun-turunin."
"Mosok nggak diturun-turunin. Lama?"
"Lumayan lama juga, akhirnya ember itu diturunin juga."

Sayangnya, pohon kopi itu sudah tiada, seperti pohon cengkih yang pernah menghasilkan Rp.250 pun kini sudah ditebas oleh keluarganya. Meskipun kedua pohon itu telah tiada, tapi kenangan menaiki pohon tersebut selalu ada. Waktu, tak akan mampu menghapus kenangan masa lalu...

Komentar

  1. saya kira embernya tiga belas tahun tetap nyanthol di dahan kopi hhh ternyaata sudah ditebang.
    proses perjalanan hidup yang penuh dengan warna dan kesan mendalam. moga jadi bekal yang indah untuk kekhidupan nanti

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamat Berkurang Usia