Delapan Belas Tahun


Ia mulai menapaki masa depannya, menyusun langkah-langkah kecilnya. Ia beranjak dewasa. Setahun di rumah kontrakan bersama dengan Om Benny, Om Davy dan Om Christ, akhirnya setahun pertama, mereka pindah rumah, karena kondisi kemanan di perumahan itu tidak selamat. Beberapa kali, rumah kontrakan tersebut dimasuki pencuri.  Om Benny kembali kos di perumahan Krakatau Steel, sementara Om Davy kembali ke Bandung.
Sejak kecil, di kampung ia biasa hidup dengan masyarakat yang homogen, berada di sebuah tempat yang tiada satupun perbedaan di kampungnya. Tapi, semenjak melangkah ke kota, ia kerap ditemukan dengan kemajemukan yang beragam. Hidup pada masyarakat yang hetrogen. Majikan yang pertama di Tangerang seorang muslim, majikan kedua dan ketiganya di pamulang dua-duanya seorang non muslim. Sedang Om Christ sendiri, juga orang non muslim. Pun dengan Om Benny dan Om Davy, mereka seorang kristen yang taat, advent.

Dari situ, ia belajar banyak hal tentang sebuah perbedaan juga menghargainya. Berbeda dengan Om Benny dan Om Davy yang selalu rajin ke gereja, tapi tidak dengan Om Christ. tak sekalipun ia melihatnya ke gereja. Dia, penasaran. Maka pernah suatu malam, dalam sebuah perbincangan ia bertanya kepada Om Christ,

"Om, kenapa sih nggak pernah ke gereja?"
Pertanyaannya dijawab sederhana saja oleh Om Christ, "Buat saya, ketika saya beribadah atau menyembah Tuhan, orang lain tak perlu tahu." 
Atau ketika suatu sore, ia dengan beria bertanya kepada Om Christ,
"Om, dulu belajar filsafat yah?"
"Eh, kok Ana tahu?"
"Abis Om kalau ngomong balapan sih. Antara otak kanan ama otak kiri nggak tahu mana yang diduluin." Om Christ hanya tersenyum mendengar pertanyaannya. Ia begitu mengagumi Om Christ, pun kerap membanggakan di depan teman-teman dekatnya

Saat usianya menjelang delapan belas tahun, Kakaknya menikah, kemudian kakanya turut serta dengan suaminya. Sejak saat itu, ia seorang diri bekerja dengan Om Christ. Akhirnya, Om Christ mencari orang lain untuk membereskan rumah, menyapu dan mengepel juga menyetrika baju. Sedang ia, masih mendapat tugas seperti biasa, memasak.

Menjelang kelas tiga, prestasinya semakin membaik, bahkan ia sempat mendapat piagam penghargaan sebagai pelajar terbaik ketiga pada kelulusannya. Ia telah menyelesaikan sekolah menengah pertamanya. Om Christ menganjurkan untuk sekolah di SMEA, katanya biar mudah dapat kerja nanti. Padahal, ia sudah mempunyai mimpi sendiri untuk amsuk ke sebuah sekolah, MAN 2 Serang yang ketika itu menjadi sekolah terbaik.

Tapi demi memenuhi keinginan Om Christ, akhirnya ia mendaftar juga di SMEA 1 Serang, meskipun dengan harapan tak diterima. Dan akhirnya,harapannya terkabul ia tak diterima di SMEA 1 Serang, akhirnya ia mendaftar di MAN 2 Serang dan diterima.

Cilegon-Serang, lumayan jauh. Ia mulai ketetarn membagi tugas, antara pekerjaan rumah juga sekolahnya. 

Pun ketika awal menduduki bangku kelas satu aliyah, ia mendapat musibah. Kabar bahwa bapaknya mendapat kecelakaan. Padahal, sehari sebelumnya bapaknya menelpon akan pulang, ceritanya di sini. Jalan kehidupan, memang tak selalunya lurus...

Saat itu, bapak dan ibunya berada di Pamulang, ibunya bekerja dengan majikan ketiganya, sedang bapaknya mulai bekerja sendiri, dengan membuat roti, menjualnya dan mengedarkannya di beberapa daerah di sekitar pamulang juga sampai ke Parung Bogor. Saat hendak mengantar roti itulah, bapak mengalami kecelakaan bersama dengan sopir yang membawa mobil.

Berita kecelakaan bapaknya, membuat ia segera menuju ke Pamulang malam hari. ia sungguh lunglai ketika mendapat bapaknya sudah tiada. Pertemuan, adalah awal dari perpisahan, Untuk sementara, ia berpisah dengan bapaknya di dunia. 

Esoknya, jasad bapaknya dimakamkan di daerah Pamulang. Beberapa saudaranya datang ke pemakaman, termasuklah saudara-saudara dari pihak bapaknya. Jangan ditanya berapa banyak derai air mata yang jatuh ketika itu. ia harus kembali menghadapi hidup dengan Kakak,  seorang ibu tunggal juga beserta adik-adiknya. Jalan masih panjang...

Selesai pemakaman, mereka kembali ke rumah majikan ketiganya di Pamulang. Malamnya, dilakukan tahlilan di rumah majikan ibunya. Ia merasa terharu. Lagi-lagi, Allah selalu menolongnya. Ia tahu, majikannya nonmuslim, tapi dengan rela hati ia mengizinkan dan membolehkan dilakukan tahlilan di rumahnya.

Besoknya, keluarga dari bapaknya bertemu dengan keluarga majikan ibunya menanyakan berapa semua jumlah yang dihabiskan untuk mengurusi pemakaman sampai urusan tahlilan. Tapi, dengan bijak, majikan ibunya berujar, "kami ikhlas menolong dan kami tak meminta ganti rugi sedikitpun." Ia mendengar kalimat itu sendiri. Terharu... hatinya menangis. Allah, selalu ada saat ia membutuhkannya.

Ia lahir dari sebuah masyarakat yang lingkungannya homogen, tapi dalam kehidupan yang ditemuinya kemajemukan juga heteroginitas ia temui, selalu membuatnya berpikir, perbedaan bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan, perbedaan pandangan bukanlah sesuatu hal yang harus dipermasalahkan. Sesuatu yang baru ditemuinya, bukanlah sebuah pemahaman yang harus diyakini tapi sebuah pengetahuan yang terkadang harus dipelajari. Wallahua'lam.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamat Berkurang Usia