Dia, masih berumur tiga belas tahun lebih. Ia pulang ke Cilegon bersama Bapaknya. Dari Tangerang, menuju Cilegon ia beberapa kali bertukar kendaraan, sebelum akhirnya, ia menaiki bus dari Kebon Nanas menuju kota Cilegon. Cilegon menyambutnya, dengan terik panas dan macamnya. Ia kini tak lagi di kampung, meskipun bukan kota besar, tapi Cilegon buatnya tetaplah berbeda dengan kampung halamannya.
Kota Cilegon
Bersama bapaknya, ia menuju sebuah perumahan. Ya, kedua orang tuanya, tinggal di sebuah perumahan kawasan industri Krakatau Steel. Bukan karena salah satu orang tuanya kerja di sana, tapi kedua orang tuanya mendapat amanah dari salah satu orang yang bekerja di Krakatau Steel untuk menghuni dan merawat rumah tersebut. Sedangkan pemiliknya, berada di Pamulang.
Ajaib... Itulah yang selalu ada dalam benaknya. Rumahnya besar, halamannya juga sangat luas. Di samping rumah, berdekatan dengan garasi ada sebuah pohon kelapa berjejer dengan pohon palem yang jaraknya berjauhan satu sama lain. Tepat di depan rumah, juga ada sebuah pohon kelapa yang berlainan jenis dengan yang di sebelah garasi. Juga di dekat pohon kelapa ada bermacam-macam lagi pohon yang tertanam dari berbagai jenis yang berderet rapi dan tersusun kemas. Ibu beserta bapaknya, rajin memotong dan merapikan pepohonan tersbut ketika tumbuh melebihi yang seharusnya. Di belakang rumah, juga berderet-deret pohon pisang serta pohon durian yang masih belum dewasa. masih di belakang rumah, agak ke samping, kedua orang tuanya menanami berbagai jenis tanaman, dari jagung, singkong, pepaya dan sayur mayur lainnya. Rumah itu, terlihat asri.
Tak hanya keadaan luarnya yang membuat ia sering ternganga, tapi juga fasilitas di dalam rumah. Tak begitu istimewa memang, hanya ada televisi berwana 21 inci yang di letakan di ruang tamu dengan kursi biasa bermerk LIGNA. Di tengah, ada sebah meja makan, masuk ke dalam lagi, ada tiga buah kamar yang saling berhadap-hadapan dan di tengahnya ada sebuah kamar mandi. Sedang kamar utama, sudah ada kamar mandi di dalamnya. Karena pemiliknya sudah pensiun, kebanyakan barang-barang sudah dibawa ke Pamulang oleh pemiliknya.
Yang membuatnya heran, adalah kesamaan barang-barang dari setiap penghuni rumah dari semua perabot sampai peralatan dapur juga mobil yang berjejer di setiap garasi. Setelah bertanya, rupanya ia adalah sebuah inventaris dari perusahaan. Ah, alangkah indahnya sebuah fasilitas. Pun keterkejutannya saat mendengar segala fasilitas lainnya, tak perlu membayar, seperti air, listrik dan telpon. Ia semakin terheran-heran, mengingat kampungnya yang belum terjamah oleh energi listrik apatah lagi telpon.
Ketika itu, bapaknya masih menjalani profesi sebagai kuli buruh bangunan, atau sesekali bapaknya yang memegang proyek, entahlah ia pun tak berapa paham. Kerap kali, bapaknya meminta tolong untuk menuliskan kertas kerja yang berisi tentang harga-harga sebuah peralatan bangunan. Sedang ibunya, kuli rumah tangga di rumah yang tak jauh dari tempatnya ia tinggal.
Tak mau berdiam diri, ketika tetangganya menawarkan sebuah pekerjaan ringan, mengemas rumah, membuka lampu dan menutupnya ketika petang ia menerimanya. Padahal, jaraknya cukup jauh. Kadang, ia menaiki sepeda, atau berjalan kaki sesekali. Tak banyak bayarannya, sebulan hanya menerima Rp.35.000.
Tidak lama berkumpul dengan keluarganya, suatu hari pemilik rumah berkunjung menjenguk rumahnya. Melihat gadis kecil tak bekerja dan tak ada aktifitasnya, ia menawarkan untuk mengikutinya saja ke Pamulang. Di Pamulang, katanya ia hendak diikutkan kursus menjahit. Dia, gadis kecil sangat gembira. Setelah menimbang-nimbang akhirnya ia mengambil keputusan, pindah ke Pamulang mengikuti pemilik rumah.
Kembali, dengan diantarkan bapaknya, ia menuju ke Pamulang. Akhirnya, ia kembali berkelana, berjalan dari rumah ke rumah sebagai seorang pembantu rumah tangga. Ketika itu bertepatan dengan akhir tahun, ia hanya dua bulan saja berada di Pamulang. Di Pamulang juga, ia merasakan pertama kalinya menjalankan ibadah puasa di rantau seorang diri, tanpa kedua orang tuanya atau saudara-saudara lainnya. Sayang sekali, pemilik rumah tak kunjung mendaftarkan ia di tempat kursus menjahit, sehingga ia pulang ke Cilegon menjelang lebaran. Kerjanya selama dua bulan, dihargai Rp.80.000. Ia masih berumur tiga belas tahun, menjelang empat belas...
****
"Tadi ke Ciputat si Anaz ke kebun Nanas dulu." Ujar Mbak Niez kepada Mbak Arie
"Ya ampun, Anazzzz... Ciputat itu di sini, Kebun nanas di sini. Ngapain muter-muter githu?" Mbak Arie menunjukan orat-oret tulisannya di atas kertas.
"Tahu nih si Anaz. kenapa sih, harus lewat Kebun nanas?" Mbak Aniez menyelidik
Aku diam.
Dulu, dulu sekali ketika masih belasan tahun itulah aku pernah dari Pamulang ke Cilegon seorang diri. Tentunya, dengan perasaan takut dan was-was, karena aku tak tahu pasti, arah dan tujuan jalan. Aku ingat, ketika diturunkan di pasar Serpong, jantungku berdetak hebat, aku sangat takut, takut sekali tidak sampai tujuan tapi ada seorang pria yang menuntunku, menunjukan mobil mana yang harus aku naiki menuju Kebun Nanas dari Pasar Serpong. Berulang-ulang, aku berucap terimakasih kepada pria tersebut.
Dari Kebun Nanas, tubuh kecilku harus kembali mengejar bus jurusan Merak. Dan alhamdulilah, aku sampai ke tujuan dengan selamat... Ternyata, nyali kampungku mampu kubawa ke kota, mengarungi pinggiran Jakarta pada usia sebegitu muda. Maka jangan heran, ketika kini aku nyasar ke mana-mana *halah*
Tags:
Ceritakoe